TRADISI MAKOTEK DI DESA MUNGGU BADUNG
Tari
Mekotekan di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung
a. Cerita :
Sejarah ini
berawal dari keberadaan, Raja IV Cokorda Nyoman Munggu pada Keraton Puri Agung
Munggu. Beliau adalah seorang raja yang sangat arif dan bijaksana serta
dicintai dan disegani oleh rakyat Mengwiraja dan sekitarnya, khususnya
masyarakat di Munggu. Beliau memiliki kebun yang sangat luas yang sekarang
disebut “Uma Kebon” serta memiliki peternakan yang disebut “Uma
Bada”.
Beliau ingin
meneruskan cita-cita pendahulunya, yaitu Raja I Gusti Agung Putu Agung yang mebiseka
Cokorda Sakti Blambangan. Beliau membentuk pasukan berani mati di Desa
Munggu, yang dibina oleh Bhagawantha raja dari Ida Brahmana di Munggu, dengan
sebutan pasukan “Guak Selem Munggu”.
Pada suatu
hari, sungai Yeh Penet yang melingkari ujung utara sampai tepi bagian barat
Desa Munggu, airnya terus mengalir menuju ke laut selatan, dan meluap
sehingga menimbulkan banjir bandang. Air sungai yang sangat deras itu
menghanyutkan sebuah pelinggih yang terapung-apung di permukaan air
kemudian tersangkut pada akar pohon kamboja besar (pohon jepun sudamala).
Atas kejadian itu masyarakat Munggu berduyun-duyun untuk melihatnya. Masyarakat
Munggu yang tinggal di dauh rurung kemudian melaporkan hal tersebut ke
hadapan Ida Bhagawantha Brahmana Pemaron Munggu yang berlanjut kehadapan Raja
Cokorda Nyoman Munggu, yang pada saat itu raja kebetulan berada di keraton puri
Agung Munggu Pura di Mengwiraja. Beliau meritahkan masyarakat Munggu untuk
mengangkat dan melestarikan pelinggih itu di tempat yang aman.
Pada saat
itu pula ada salah seorang penduduk di Munggu kesurupan (kerauhan) dan
mengaku sebagai utusan dari Ida Betari Ulun Danu Bratan, atas permohonan Ida
Betara di Pura Puncak Mangu, yang memohon kepada Raja Bhagawantha untuk
menyelamatkan pelinggih itu serta membangun sebuah pura yang merupakan istana
Ida Betara Luhur Sapuh Jagat, untuk menjaga keselamatan rakyat Mengwiraja
sebagai kahyangan jagat. Atas petunjuk orang yang kesurupan itu,
diyakini bahwa pada waktu akan mulai meletakkan batu pertama (nasarin)
Pura Luhur Sapuh Jagat akan menemukan segumpalan besi dan batu-batu yang
berbentuk senjata. Gumpalan besi itu agar diamankan dijadikan senjata-senjata
kerajaan Mengwipura, sedangkan batu-batu itu agar dilestarikan di tempat
pembangunan pura tersebut.
Raja Cokorda
Nyoman Munggu beserta Ida Bhagawantha Brahmana Munggu tidak begitu cepat
percaya dengan ucapan-ucapan orang kesurupan itu, beliau ingin membuktikan
lagi. Untuk meyakinkan, akhirnya orang yang kesurupan yang mengaku utusan Ida
Betara Ulun Danu menjadi sangat jengkel dan berlari menuju pura Puseh
Munggu, serta mengambil sebuah tedung yang panjangnya kurang lebih 5
meter dan menancapkan pada halaman pura Puseh, serta meloncat-loncat ke atas tedung.
Di atas tedung itulah orang yang kesurupan itu menari-nari sambil menantang
Raja Bhagawantha dengan kata-kata yang sangat meyakinkan, bahwa ia benar-benar
utusan Ida Betara Ulun Danu Bratan.
Dalam
suasana hujan lebat serta angin puyuh, Raja beserta Ida Bhagawantha Brahmana
Munggu, bersama-sama seluruh masyarakat Munggu menyaksikan hal itu. Setelah itu
barulah beliau sadar serta berjanji memenuhi semua apa yang menjadi petunjuk
yang diucapkan oleh orang kesurupan itu, yang merupakan pawisik Ida
Batara (Sang Hyang Widi Wasa) sehingga orang itu langsung disucikan
dijadikan pemangku Pura Puseh. Diputuskanlah oleh Ida Bhagawantha
Brahmana Munggu, bahwa hari Rabu Kliwon Ugu mulai diadakan pembangunan atau nasarin
Pura Luhur Sapuh Jagat di Desa Munggu Kabupaten Badung.
Benar-benar
suatu keajaiban pada jagat Bali. Setelah penggalian pembangunan pura
seperti petunjuk yang diucapkan pemangku itu, terdapatlah gumpalan
batu-batu. Ada yang berbentuk tamiang, besi-besi tua yang berbentuk
senjata tajam. Setelah disaksikan oleh Ida Bhagawantha Brahmana Munggu dan seluruh
masyarakat Munggu, akhirnya benda-benda tersebut diangkat dan ditempatkan pada
bangunan suci untuk diamankan dan dilestarikan.
Sesuai
dengan pawisik yang telah didapatkan sebelumnya, maka dipanggillah
seorang wiku pande besi Desa Munggu oleh Cokorda Munggu untuk menjadikan besi
tua itu senjata keris dan tombak, sehingga menghasilkan 5 buah senjata tajam
yang terdiri dari keris dan tombak yang diserahkan kembali ke hadapan Cokorda
Munggu. Kemudian diadakan upacara pasupati senjata oleh Ida Bhagawantha
Brahmana Pemaron Munggu dan seluruh rakyat Munggu diperintahkan untuk membuat
tempat pemujaan berupa panggung setinggi 6 m di perempatan Banjar Munggu untuk
kegiatan upacara pasupati senjata-senjata tersebut.
Keris dan
tombak tersebut disucikan terlebih dahulu dengan mempergunakan air bungkak
kelapa gading, setelah itu dipercikan air suci dan sarana banten, lalu
keris dan tombak langsung dihias dengan bunga pucuk merah yaitu pucuk rejuna
dan busana kain serba merah. Keris-keris dan tombak pada saat dipasupati
Ida Pedanda ditempatkan pada sebuah singgasana khusus dan selanjutnya
keris-keris dikemit selama 3 bulan di panggung upacara tersebut
secara silih berganti oleh warga desa Munggu yang mekemit untuk mohon
keselamatan, keamanan, serta kenyamanan. Selama tiga bulan mekemit
Ida Pedanda mendapat wahyu agar keris-keris dan tombak itu
masing-masing diberi nama :
1.
Sebuah keris runcing luk 11 (sebelas) diberi nama I
Raksasa Bedek
2.
Sebuah keris runcing luk 7 (tujuh) diberi nama I Sekar
Sungsang
3.
Sebuah keris runcing luk 5 (lima) bernama I Jimat
4.
Sebuah keris runcing bernama I Sapuh Jagat
5.
Sebuah tombak bernama I Bangun Oleg (Olog)
Setelah
senjata-senjata yang didapatkan melalui pawisik gaib dipasupati dan
dikemit selama tiga bulan, maka pada hari Sabtu Kliwon Kuningan pada
Tumpek Kuningan, mulai diperagakan mengadakan perang-perangan yang diikuti oleh
para laki-laki dewasa yang berasal dari seluruh Desa Munggu, kecuali bagi yang
sedang cuntaka. Tari-tarian inilah yang kemudian dalam perkembangannya
dikenal dengan tari Mekotekan.
b. Upacara :
Mitos
yang berkembang di masyarakat tersebut kemudian menciptakan sebuah upacara yang
dilakukan secara rutin setiap hari raya Kuningan. Upacara
Makotek ini diikuti sekitar 2000 penduduk desa Munggu yang terdiri dari 15
banjar turun ke jalan dari umur 12 tahun hingga 60 tahun. Mereka
mengenakan pakaian adat madya dengan hanya mengenakan kancut dan udeng batik
dan membawa selonjoran kayu 2 meter yang telah dikuliti. Dahulunya upacara ini
menggunakan tombak yang terbuat dari besi. Namun seiring perkembangan zaman dan
untuk menghindari peserta yang terluka maka sejak tahun 1948 tombak besi mulai
diganti dengan tombak dari bahan kayu pulet. Tombak yang asli dilestarikan dan
disimpan di pura.
Pada tengah
hari seluruh peserta berkumpul di pura Dalem Munggu yang memanjang. Disana
dilakukan upacara syukuran bahwa selama 6 bulan pertanian, perkebunan dan
segala usaha penduduk berlangsung dengan baik, setelah serangkaian upacara
berlangsung, keseluruhan peserta melakukan pawai menuju ke sumber air yang ada
di bagian utara kampung. Warga kemudian terbagi dalam beberapa kelompok .
Di setiap pertigaan yang dilewati masing masing kelompok yang terdiri dari 50
orang akan membuat bentuk segitiga menggabungkan kayu-kayu tersebut hingga
berbentuk kerucut lalu mereka berputar, berjingkrak dengan iringan gamelan.
Pada saat yang tepat seorang yang dianggap punya nyali sekaligus punya kaul
akan mendaki puncak piramid dan melakukan atraksi entah mengangkat tongkatnya atau
berdiri dengan mengepalkan tangan, sambil berteriak laksana panglima perang
mengkomamdoi prajuritnya untuk terus menerjang musuh lalu kemudian ditabrakkan
dengan kelompok yang mendirikan tumpukan kayu yang lain. Sesampai di sumber
air, tameng suci, segala perangkat upacara yang dibawa dari Pura Dalem diberi
tirta air suci dan dibersihkan. Kemudian mereka melakukan pawai kembali ke Pura
Dalem untuk menyimpan semua perangkat yang dibawa berkeliling tadi.
c.
Analisa
:
Setelah mendengar cerita rakyat dari
Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung tersebut, kita dapat melihat
keberadaan fungsi mitos yang sampai saat ini di percayai di dalam masyarakat
Desa Munggu khususnya. Mereka melakukan upacara Mekotekan dengan tujuan untuk menolak bala, sekaligus sebagai rasa syukur
karena selama 6 bulan pertanian, perkebunan dan segala usaha penduduk
berlangsung dengan baik. Melihat tujuan dari upacara ritual
tersebut, fungsi mitos dalam segi kosmologi sangat memiliki andil yang besar
karena adanya keterkaitan antara alam dan Penciptanya. Selain itu dari segi
sosial, dapat kita lihat bahwa dengan adanya ritual tersebut rasa solidaritas
dari masyarakat tercipta melalui bekerjasama untuk membuat
bentuk segitiga menggabungkan kayu-kayu tersebut hingga berbentuk kerucut lalu
mereka berputar, berjingkrak dengan iringan gamelan.
Dalam Upacara Makotekan terdapat nilai religius yang tercermin dalam doa bersama
yang ditujukan kepada Tuhan agar mendapat perlindungan, keselamatan dan
kesejahteraan dalam menjalani kehidupan. Sejalan dengan perkembangan zaman,
kegiatan upacara Mekotekan tersebut
masih dilakukan oleh masyarakat Desa Munggu sebagai suatu wujud rasa syukur
kepada Sang Pencipta dan permohonan Do’a kepadaNya. Hal ini dapat membuktikan
bahwa masyarakat Desa Munggu masih meyakini atau mempercayai adanya energi
mistis dalam mitos yang diaktualisasikan dalam upacara ritual yang
berkembang di daerahnya.
#Dari Berbagai Sumber
test
BalasHapus